Thursday, July 22, 2010

Si Panda

Referensi

Di luar Genk Ijo dan sebagian kecil anggota KHCC, tidak ada yang tau tentang panggilan Panda. Tapi, kejadian sekitar sebulan yang lalu, hal ini membuat saya bengong.

Sebagaimana janji saya untuk mampir ke tempat Djuliant BlackyDuck, / jam 1800 teng saya sudah berada di lobby belakang. Seperti biasa, sambil akhirnya udud -yang saya sudah tidak lakukan dari 3 bulan yang lalu- obrolan nggak jelas mulai mengalir. 2 rekannya ikut gabung dan terlibat dalam obrolan yang tambah kacau.

Daripada bengong, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan kegiatan yang cukup berbobot: makan bubur ayam sambil diselingi dengan mengganyang sate telur, ati ampla dan usus. Wuih, bukan main rasanya. Puas mengganyang sate dengan lauk bubur, kami kembali ke lobby belakang.

Nggak berapa lama, 2 rekan Djuliant pamit dan membuat saya seperti tersambar geledek.
"Mas Panda, pulang duluan ya."
Saya balas biasa "Ok, sip. Titidj."
Semenit, dua menit, akhirnya mobil mereka melintas. Sambil membuka kaca, seorang temannya yang tadi hanya nyengir pas berpisah nambahin "Kita duluan ya Mas Panda."

Mungkin saking seringnya nyebut saya dengan panggilan Panda, ni bocah keterusan. Pas ditanya nunggu siapa, pasti dia bilang nunggu si Panda mau ke sini!

Sepotong Cerita Dalam Setetes Hujan dan Semangkok Mie Ayam

Hampir Dua Tahun Yang Lalu
Karisma yang aku kendarai baru saja berlalu melewati pos penjagaan provost kawasan Bandara Halim PK. Mendung menggayut semakin berat, dan udara terasa lebih menusuk. Setetes demi setetes gerimis akhirnya turun juga. Tak lama setelah melewati pertigaan Intirub, hujan pecah dengan cepat. Seketika aroma tanah dan rumput basah menyerbak menembus tutup hidung yang kukenakan.

Di tenda mie ayam pinggir jalan, akhirnya aku berteduh. Hujan turun begitu cepat, sia2 jika memaksa memakai mantel di pinggir jalan. Toh perjalanan tinggal sepotong dan aku tidak dikejar apapun. Berkali-kali aku menatap panci tempat merebus air. Uap panas mengepul. Beberapa orang tengah bercengkerama di warung sekaligus tempat tinggal di seberang tenda mie ayam. Pengendara motor berkali-kali melintas dalam balutan mantel. Udara bertambah dingin.

Hujan selalu menarik bagiku. Jika turun hujan, aroma tanah dan rumput basah selalu naik. Jika sedang di rumah, melihat orang lalu lalang dalam hujan -entah masih berapa jauh tujuan mereka, aku sering membayangkan dinginnya mereka menerabas hujan. Jika sedang kehujanan di jalan, seringkali aku membayangkan betapa hangatnya berada di dalam rumah.

"Pak, mie ayamnya satu," akhirnya aku memesan mie. Sebetulnya tidak lapar, dan melihat dari bentuknya, aku sudah membayangkan sebenarnya rasanya pasti biasa saja kalo tidak bisa dibilang tidak enak. Entah kenapa dalam benakku terpatri: daging ayam di tukang mie kalo warnanya kuning dimasak dengan kunyit rasa mie ayamnya pasti aneh. Dan seperti biasanya, kali ini tebakanku juga tepat. Tapi memang bukan itu tujuanku memesan mie ayam. Aku hanya ingin menikmati rasa hangat yang menjalar melewati tenggorokan, sembari ngobrol ngalor-ngidul dengan tukang mie ayam.

* * *

Rasanya baru kemarin aku meninggalkan rutinitas mengendarai motor. Mengendarai motor adalah mengenai sensasi. Udara bebas menampar wajah dan badan. Hujan bebas mengguyur tubuh yang terbalut mantel hingga kadang menggigil. Merasakan hangatnya rumah setelah kehujanan adalah salah satu kenikmatan. Jangan tanya rasanya.

Hujan, apakah ia masih mengingatku tatkala mengguyur sekujur tubuh dan motorku?